Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) tampak berpihak pada seorang wanita muslim, yang menuding bahwa perusahaan Abercrombie & Fitch melanggar undang-undang anti-diskriminasi, saat menolaknya bekerja karena menggunakan jilbab.
Samantha Elauf ditolak bekerja di salah satu toko Abercrombie di Tulsa pada 2008. Dilansir dari laman Washington Post, Rabu, 25 Februari 2015, perusahaan itu berdalih penampilan Samantha Elauf tidak sesuai dengan aturan berbusana mereka.
Hakim bertanya pada pengacara Abercrombie, Shay Dvoretzky, tentang mengapa perusahaan itu tidak dapat menguraikan kebijakannya, dalam hal ini larangan untuk menggunakan jilbab.
Dvoretzky menjawab, menerima Samantha akan berarti perusahaan memperlakukan pelamar kerja secara berbeda, berdasarkan pada stereotip atau asumsi, tentang apakah sesuatu itu merupakan praktik beragama.
Sebab saat wawancara kerja, kata dia, Samantha yang telah mengenakan jilbab sejak usia 13 tahun tidak mengatakan, bahwa dia harus mengenakan jilbab untuk menjalankan agamanya.
Berdasarkan undang-undang, pemberi kerja memiliki tugas hukum untuk bertanya pada pelamar, apakah peraturan di perusahaan mereka berbenturan dengan kepercayaan agama si pelamar.
UU Federal melarang perusahaan menolak seseorang bekerja karena agama mereka. Perusahaan juga memiliki kewajiban, menyediakan akomodasi bagi karyawan dalam melaksanakan kepercayaan agamanya.
Tapi Dvoretzky berdalih, peraturan itu akan membuat perusahaan memperlakukan orang-orang secara berbeda berdasarkan agama mereka, yang bertentangan dengan pasal lain yang melarang diskriminasi.
Hakim Ruth Bader Ginsburg merespon, dengan menyebut bahwa UU memang meminta perusahaan memperlakukan secara berbeda, orang-orang yang menerapkan aturan agamanya.
"Mereka (perusahaan) tidak harus mengakomodasi sebuah topi baseball. Tapi mereka wajib menyediakan sebuah yarmulke," katanya. Hakim lainnya, Samuel A. Alito memberikan sebuah perumpamaan.
Dia memberi contoh seorang wanita muslim mengenakan hijab dan seorang biarawati Katolik dengan pakaiannya yang khas. "Sekarang, Anda berpikir mereka harus mengatakan bahwa kami berpakaian seperti ini karena alasan agama?"
Samantha yang berusia 17 tahun saat wawancara kerja, telah dinyatakan berkualifikasi oleh wanita yang mewawancarainya, namun seorang supervisor keberatan karena dia mengenakan jilbab.
Hakim di pengadilan federal telah memenangkan Samantha, memutuskan bahwa perusahaan harus membayar kompensasi sebesar $20.000. Tapi pengadilan banding di Denver membatalkannya.
Pengadilan banding menyatakan bahwa Samantha tidak dapat menuntut, sebab dia tidak menyebutkan agamanya atau meminta pengecualian, untuk memungkinkan dia mengenakan jilbab.
Pada persidangan di Mahkamah Agung, Selasa, 24 Februari 2015, sebagian besar hakim tampaknya berpihak pada Samantha, namun mereka tidak merasa pasti tentang apa hukuman yang harus dijatuhkan pada perusahaan.
Mahkamah Agung diperkirakan baru akan membuat putusan pada Juni mendatang. [Viva]
Samantha Elauf ditolak bekerja di salah satu toko Abercrombie di Tulsa pada 2008. Dilansir dari laman Washington Post, Rabu, 25 Februari 2015, perusahaan itu berdalih penampilan Samantha Elauf tidak sesuai dengan aturan berbusana mereka.
Hakim bertanya pada pengacara Abercrombie, Shay Dvoretzky, tentang mengapa perusahaan itu tidak dapat menguraikan kebijakannya, dalam hal ini larangan untuk menggunakan jilbab.
Dvoretzky menjawab, menerima Samantha akan berarti perusahaan memperlakukan pelamar kerja secara berbeda, berdasarkan pada stereotip atau asumsi, tentang apakah sesuatu itu merupakan praktik beragama.
Sebab saat wawancara kerja, kata dia, Samantha yang telah mengenakan jilbab sejak usia 13 tahun tidak mengatakan, bahwa dia harus mengenakan jilbab untuk menjalankan agamanya.
Berdasarkan undang-undang, pemberi kerja memiliki tugas hukum untuk bertanya pada pelamar, apakah peraturan di perusahaan mereka berbenturan dengan kepercayaan agama si pelamar.
UU Federal melarang perusahaan menolak seseorang bekerja karena agama mereka. Perusahaan juga memiliki kewajiban, menyediakan akomodasi bagi karyawan dalam melaksanakan kepercayaan agamanya.
Tapi Dvoretzky berdalih, peraturan itu akan membuat perusahaan memperlakukan orang-orang secara berbeda berdasarkan agama mereka, yang bertentangan dengan pasal lain yang melarang diskriminasi.
Hakim Ruth Bader Ginsburg merespon, dengan menyebut bahwa UU memang meminta perusahaan memperlakukan secara berbeda, orang-orang yang menerapkan aturan agamanya.
"Mereka (perusahaan) tidak harus mengakomodasi sebuah topi baseball. Tapi mereka wajib menyediakan sebuah yarmulke," katanya. Hakim lainnya, Samuel A. Alito memberikan sebuah perumpamaan.
Dia memberi contoh seorang wanita muslim mengenakan hijab dan seorang biarawati Katolik dengan pakaiannya yang khas. "Sekarang, Anda berpikir mereka harus mengatakan bahwa kami berpakaian seperti ini karena alasan agama?"
Samantha yang berusia 17 tahun saat wawancara kerja, telah dinyatakan berkualifikasi oleh wanita yang mewawancarainya, namun seorang supervisor keberatan karena dia mengenakan jilbab.
Hakim di pengadilan federal telah memenangkan Samantha, memutuskan bahwa perusahaan harus membayar kompensasi sebesar $20.000. Tapi pengadilan banding di Denver membatalkannya.
Pengadilan banding menyatakan bahwa Samantha tidak dapat menuntut, sebab dia tidak menyebutkan agamanya atau meminta pengecualian, untuk memungkinkan dia mengenakan jilbab.
Pada persidangan di Mahkamah Agung, Selasa, 24 Februari 2015, sebagian besar hakim tampaknya berpihak pada Samantha, namun mereka tidak merasa pasti tentang apa hukuman yang harus dijatuhkan pada perusahaan.
Mahkamah Agung diperkirakan baru akan membuat putusan pada Juni mendatang. [Viva]