Skip to main content

Warganya di Hukum Mati, Ini 7 Potensi "Ancaman Balas Dendam" Australia ke Indonesia



Lepas tengah malam, Rabu (29/4/2015), suara letusan senjata memecah keheningan di Pulau Nusakambangan, saat 8 terpidana mati dieksekusi regu tembak sekaligus. Di antara mereka ada Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, duo sindikat narkoba Bali Nine.

Pemerintah Australia -- negara asal mereka -- telah memperingatkan bahwa kematian keduanya akan mengakibatkan konsekuensi bagi Indonesia. Apa yang akan dilakukan Negeri Kanguru?

Situs The Australian menyebut, pemerintahan PM Abbott kemungkinan 'membalas' keputusan Indonesia dengan cara menarik duta besarnya, Paul Grigson, dari Indonesia.

Sementara, seperti dikutip dari ABC News, Rabu dini hari, Pemerintah Federal Australia masih menimbang langkah apa yang akan dilakukan terhadap Indonesia.

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop kembali mengeluarkan ancaman, bahwa ada 'konsekuensi' yang akan ditanggung Indonesia jika duo Bali Nine dieksekusi.

"Saya tak berniat fokus pada konsekuensi (untuk Indonesia). Tapi, jika eksekusi tetap dilakukan dalam cara yang sudah saya antisipasi, tentu saja akan ada konsekuensinya," kata Menlu Bishop. "Namun saya tidak akan menjelaskan secara rinci."

Menlu juga mengatakan, pemerintah Indonesia tak memberikan pemberitahuan terkait kapan persisnya duo Bali Nine dieksekusi.

Hingga berita ini diturunkan, Dubes Australia untuk RI masih menjadi representasi tertinggi pemerintahan Negeri Kanguru di Indonesia. Pihak Canberra belum membuat keputusan.

Sebelumnya, Perdana Menteri Australia, Tony Abbott mengisyaratkan hal senada dengan Menlu Abbott. "Jika eksekusi diteruskan -- saya berharap tidak -- kita akan memastikan akan menemukan cara untuk mengekspresikan ketidaksenangan kita.

Berikut 7 'risiko' yang mungkin dihadapi Indonesia pasca eksekusi Bali Nine seperti dikutip dari ABC News :

#1. Potensi Serangan

Menurut ABC, ekspresi ketidaksenangan bisa dilakukan warga Australia. Pencegahan bisa dilakukan dengan mengamankan Kedubes RI di Canberra, juga konsulat di Sydney, Melbourne, Adelaide, Perth, dan Darwin.

Serangan terhadap kantor perwakilan negara lain jarang terjadi di Australia, namun hal itu pernah dilakukan.

Pada 17 Juni 1995, Konsulat Prancis di Perth diserang saat tensi dua negara meninggi soal uji nuklir di  Moruroa Atoll di Samudera Pasifik.

Pada 1992 serangan juga dilakukan di Kedubes Iran, dan pada 2012 terhadap Suriah.

#2. Penarikan Duta Besar

Hal ini belum pernah dilakukan Australia untuk merespon eksekusi mati. Termasuk saat warga negaranya, Nguyen Tuong Van dieksekusi di Singapura pada Jumat 2 Desember 2005.

Perdana Menteri Australia kala itu, John Howard, bereaksi keras. Ia mengatakan, eksekusi akan  memperburuk hubungan Australia dan Singapura.

Namun, PM Howard menolak seruan melakukan boikot perdagangan dan militer terhadap Singapura -- salah satu sekutu terkuat Australia di Asia. Dia menambahkan eksekusi harus menjadi peringatan bagi pemuda Australia lainnya.

“Jangan pernah berpikir sekejap pun bahwa kalian bisa lolos dari risiko membawa obat terlarang ke mana pun di Asia tanpa menanggung konsekuensi berat.”

#3. Menyunat Bantuan

Pemotongan bantuan Australia untuk Indonesia yang nilainya mencapai 600 juta dolar Australia juga mungkin dilakukan.

Soal sumbangan, sebelumnya PM Australia Tony Abbott mengingatkan 'utang budi' Indonesia atas bantuan yang diberikan Negeri Kanguru dalam tragedi Tsunami Aceh 2004. Yang nilainya mencapai 1 miliar dolar Australia.

“Jangan lupa beberapa waktu lalu ketika Indonesia dilanda tsunami, Australia mengirimkan bantuan 1 miliar dolar Australia, kami juga mengirimkan pasukan untuk bantuan kemanusiaan,"kata dia.

"Ya, mereka (Bali Nine) melakukan hal yang mengerikan, mereka juga harus mendekam lama di penjara, tapi mereka tak pantas mati.”  Ucapan itu justru memicu reaksi negatif dan gerakan 'Koin Untuk Australia’

#4. Boikot Pertemuan

Menarik diri dari pertemuan tahunan para pemimpin. Juga, tak hadir dalam pertemuan  2+2 -- yang mengacu kepada pertemuan antara dua 2 menteri luar negeri dan 2 menteri pertahanan Indonesia dan Australia.

#5. Pembatalan Kontrak dan Rapat

Menangguhkan kontrak level menteri dua negara. Juga menunda setiap pertemuan yang melibatkan sekretaris departemen dan wakil sekretaris.

Australia bisa jadi menangguhkan pertemuan rutin antar pejabat 2 negara dalam isu-isu pertahanan, hukum, dan pendidikan.

#6. Tak Mendukung Indonesia

Australia mungkin menolak mendukung Indonesia, untuk hal-hal yang diperjuangkan RI dalam forum internasional.

#7. Perpisahan Panglima TNI

Negeri Kanguru mungkin tak akan mengirimkan pejabat tingkat tinggi untuk menghadiri perpisahan Panglima TNI, Jenderal Moeldoko yang akan digelar Juli 2015 mendatang. (Ein/Rmn/liputan6)

Popular posts from this blog

Gagal Jadi Menteri Jokowi, Rieke Diah Pitaloka Kini Resmi Cerai dengan Suami

Dulu sempat tersiar kabar, Rieke Diah Pitaloka (Oneng) akan di jadikan menteri dalam kabinet kerja Jokowi. Isu yang berkembang - saat itu - adalah Menteri Tenaga Kerja danTransmigrasi Indonesia. Tapi dalam pengmuman kabinet kerja Jokowi, nama "Oneng" tak ada disebutkan. Yang terjadi, Politisi PDIP tersebut bukan saja gagal jadi menterinya Jokowi. Resmi bercerai dengan suami membuat Rieke juga gagal membangun mahligai rumah tangganya. Dilansir laman Detik (24/3), kabar mengejutkan datang dari artis sekaligus politikus Rieke Diah Pitaloka. Ia ternyata telah bercerai dengan sang suami, Donny Gahral Adian. Isu keretakan rumah tangga Rieke dan Donny memang sudah lama terdengar, bisa dibilang sejak pertengahan tahun lalu. Kabar tersebut ternyata bukan gosip belaka. Saat ini, keduanya sudah resmi bercerai. Hal itu dikonfirmasi oleh Humas Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat, Suryadi. "Iya, benar (telah cerai)," ucap Suryadi kepada detikHOT lewat pesan singkat,

Alamak! Bentuk Tim Independen, Jokowi Bikin Konflik KPK vs Polri Makin Rumit

Aksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat tim independen untuk memediasi konflik KPK dan Polri bukan memberikan solusi, tetapi menambah polemik dan masalah menjadi rumit. "Pembentukan tim independen bukanlah solusi tapi akan membuat polemik ini makin kusut dan berliku," tegas dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki, kepada wartawan, Selasa (27/1). Menurutnya, terdapat beberapa alasan tim independen tak dibutuhkan. Pertama, belum ada dasar hukum yang jelas pembentukan tim tersebut apakah keppres atau dasar hukum teknis lainnya. "Karena bila tidak dibekali dasar hukum yang jelas, tim tidak akan efektif bekerja menggali fakta dan memanggil para pihak," katanya. Kedua, Presiden seperti tidak belajar dari pengalaman sebelumnya bahwa selama ini pengelolaan negara menjadi tidak efektif karena terlalu banyak tim yang nomenklaturnya tidak jelas dan justru tumpang tindih dengan lembaga atau institusi yang

Contact

Kritik, saran atau pemasangan iklan bisa dikirim ke email maidany@gmail.com. Tulis di subjek : Kritik, Saran atau Iklan. Terima Kasih Redaksi