Kabinet Kerja Pimpinan Presiden Joko Widodo ini memang tengah dilanda masalah krusial. Tak main-main soal data IMF di antara Presiden dan para pembantunya tak satu suara. Beginikah potret pemerintahan kita saat ini?
Selasa (28//2015) siang, publik cukup dihebohkan dengan linimasa mantan Presiden SBY soal sanggahan pernyataan Presiden Joko Widodo di sebuah koran politik terbitan Ibukota. Intinya, SBY mengoreksi soal posisi Republik Indonesia (RI) terkait dengan utang ke International Monetary Fund (IMF) sebagaimana disebut Jokowi. "Jika pernyataan Presiden Jokowi tersebut tidak saya koreksi, rakyat bisa menuduh saya yang berbohong. Kebenaran bagi saya mutlak," tegas SBY melalui akun Twitternya @SBYudhoyono.
Mulanya, publik terkonsentrasi dengan polemik antar kedua tokoh tersebut, yakni SBY dan Jokowi. Apalagi keduanya memang pernah memiliki sejarah saling sindir satu sama lain.
Namun, sikap penasaran publik terkait isi linimasa SBY, setidaknya diindikasikan dengan ribuan para pengikutinya me-retweet status mantan presiden ini, publik dikejutkan dengan bantahan menteri yang berada di lingkar dalam Presiden yang tak lain Menteri Sekretaris Kabinet Andi Widjojanto.
Intinya ia membantah pernyataan SBY soal RI terbebas dari lilitan utang IMF. "Di 2006 memang kita tidak memiliki utang dengan IMF tapi muncul lagi pada 2009," kata Andi seraya menyebut angka US$3,093 miliar.
Namun tak lama setelah publik membaca pernyataan Andi Widjojanto, Menkeu Bambang Brodjonegoro secara lugas mengemukakan apa yang disampaikan Presiden Jokowi merupakan salah kutip. "Salah kutip pernyataan itu. Indonesia sudah tidak mempunyai utang di IMF," sebut Bambang usai Forum Riset Ekonomi Keuangan Suariah (FREKS) 2015 di Balai Sidang UI, Selasa (28/4/2015).
Terkait angka yang disebut Menseskab US$3,093 miliar, Bambang menyebutkan angka yang sebenarnya US$2,9 miliar merupakan utang dari Bank Indonesia pada November 2014 lalu. Dia menggarisbawahi, hal tersebut tidak harus dibayar melainkan dalam rangka pengelolaan devisa.
Beda pendapat Presiden dan Menteri, Wakil Presiden dengan Menteri dan Presiden dengan Wakil Presiden tidak kali ini saja terjadi. Selama enam bulan masa pemerintahan Jokowi, pertunjukan perbedaan pandangan atas suatu kebijakan muncul secara vulgar ke publik.
Untuk menyebut contoh seperti saat kenaikan komoditas beras di pasar, Menteri Perdagangan Rahmat Gobel menyebut kenaikan harga beras lantaran ulah mafia beras. Namun, berbeda dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menyebut tidak ada mafia beras.
Begitu juga saat Menhub Ignasius Jonan meneken Peraturan Menteri yang mengatur kebijakan tarif batas bawah minimal 40 persen dari tarif batas atas. Namun, Menko Perekonomian Sofyan Djalil menegaskan pemerintah tidak melarang Low Cost Carier (LCC) alias penjualan tiket murah. Bagaimana ini? [mdr/inilah]