Pada hajatan 5 tahun sekali itu, Megawati lah pemilik panggungnya. Dimana anak Soekarno itu berpidato di pembukaan dan di penutupan Kongres PDIP ke IV yang di gelar di Bali.
Sementara Presiden Jokowi, sedikit pun tidak di beri panggung selain posisinya yang di pertegas oleh Megawati sebagai "petugas partai" saja. "Jika tidak mau disebut sebagai petugas partai silahkan keluar..," begitu kira-kira bunyi pidato Mega di kala itu.
Banyak pihak yang sangat menyesalkan posisi Jokowi yang tidak diperkenankan pidato pada kongres PDIP IV itu. Bahkan seorang Tommy Soeharto yang selalu mengkritik Jokowi tak rela Presiden Jokowi diperlakukan seperti itu. Karena hal tersebut sebuah pelecehan yang nyata kepada simbol negara.
Tapi sudahlah, itu masa lalu dan mari kita ambil pelajaran bersama bagi Indonesia. Walaupun sangat disayangkan Jokowi datang ke Kongres PDIP ke IV pakai fasilitas negara ketika itu.
Kini, pada acara Konferensi Asia Afrika (KAA) ke 60 sesi napak tilas atau historical walk untuk mengenang peristiwa bersejarah Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 yang pertama di Bandung, Jawa Barat, Jumat (24/4), publik terkejut menyaksikan ada gambar Megawati sejajar dengan para pemimpin negara-negara lain (delegasi KAA). Tentu saja, hal ini tidak wajar, karena posisi Megawati adalah Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Meski ada yang meminta hal tersebut tidak perlu dipermasalahkan dengan alasan Megawati adalah anak Soekarno, sehingga lumrah jika ia berada di barisan para pemimpin negara lain.
Namun ternyata, tak sedikit juga yang menjadikan hal tersebut adalah sebuah ketidak wajaran. Komentar para netizen pun tak bisa di bendung.
"Neng Mega ngapain di depan? Some people just doesn't know when to quit yah," tulisnya akun @MalikAbdulAzzis sekalian melampirkan gambar penampakan Megawati di barisan depan bersama pemimpin negara lain pada acara napak tilas KAA.
Lain lagi komentar netizen berikut ini yang menyebut Megawati sebagai Komisaris Presiden. Makanya wajar berada di barisan tersebut.
"Ada yg salah ? Bu Mega itu "Presiden Komisaris Presiden" lho... ", kicau @Abeng2709 dengan nada menyindir.
Sedang akun @diansyah76 berikan komentar dengan menyatakan Megawati sebagai owner partai yang tak mau ketinggalan.
"eh, owner partainya ikutan juga...," bunyi kicauannya yang singkat padat.
Pada waktu yang sama, media mainstream pun hampir semua memberitakan terkait gambar Megawati di napak tilas KAA yang posisinya di barisan depan. Seperti Tribunnews memuat judul berita "Megawati Satu-satunya Ketua Umum Parpol yang Ikut Napak Tilas KAA" pada tanggal 24 April 2015. Kemudian, media Kompas merilis judul berita "Ada Megawati dan Puan di Antara Para Pemimpin Dunia". Dan masih banyak media lain.
Tentu saja, respon publik atas aksi Megawati itu, menandakan bahwa kejadian tersebut menuai pro dan kontra. Tidak salah bagi yang kontra menuding bahwa Megawati adalah wanita yang selalu "haus panggung". Pasalnya, kenapa sewaktu Kongres PDIP IV cuma Megawati saja yang mendapat panggung dan di acara KAA-60 Megawati malah seperti mencari panggung? Pertanyaan inilah pemicunya.
Belum lagi fakta yang menyatakan bahwa Megawati seperti sang Ratu. Pasalnya, selama 4 periode menjabat sebagai ketua umum PDIP terus. Jika Mega tidak "haus panggung", kenapa harus 4 periode? Jawaban klise pun hadir, "Ibu Megawati jadi Ketum PDIP 4 periode karena keingingan semua kader PDIP". Mungkin dan mungkin saja jawaban itu ada benarnya. Tapi, peluang publik untuk menilai Megawati sebagai wanita "haus kekuasaan alias haus panggung" tidak bisa di nafikan, bukan? Karena penilaian tersebut punya landasan argumentasi yang terbangun.
[JK Sinaga]