Skip to main content

[Kisah Hikmah] 'Boleh Menikahi Pengedar Narkoba, Asal Jangan Nikahi Muslim'



Seorang ibu sangat tidak membolehkan anaknya menikah dengan pemeluk Islam. Bahkan, sang ibu sampai mengatakan, "Aku tak peduli kamu mau menikahi pengedar narkotika, asal jangan nikahi Muslim"?

Permintaan tersebut benar-benar dikatakan oleh seorang ibu kepada anaknya, Susan Carland. Saat itu, Susan baru berusia 17 tahun setelah ia menyatakan bahwa salah satu resolusi pada tahun barunya, yakni mempelajari keyakinan lain.

Tentu bagi Susan, agama Islam bukanlah menjadi agama prioritasnya. Pasalnya, ia menilai Islam sebagai agama yang penuh dengan kekerasan, gender, dan terlihat asing.

Namun, siapa sangka, dua tahun kemudian tepatnya saat berusia 19 tahun, Susan justru menjadi seorang mualaf. Susan yang dibesarkan dengan baptis memutuskan untuk memeluk agama Islam tanpa adanya pengaruh dari orang lain.

Suatu hari, ibunya memasak daging babi untuk makan malam. Saat itu juga, kemudian ibunya menyadari putrinya telah menjadi 'korban' Islam. "Ibuku memelukku, tapi dia menangis," kata Susan, dilansir dari OnIslam.net. Beberapa hari kemudian, Susan pun memutuskan mengenakan kerudung.

Selama delapan tahun setelah menjadi mualaf, hubungan Susan dengan ibunya pun retak. Namun, saat ini, kata dia, hubungan mereka baik-baik saja.

"Sekarang, ibuku bahkan membelikanku kerudung dan mengirimkan hadiah untuk anak-anakku saat Hari Raya," kata dia. Susan menyadari di dalam Islam tak ada kesenjangan intelektual antara pikiran, tubuh, dan jiwa yang ia temukan dalam agama Kristen.

Selain itu, Susan juga memutuskan untuk memeluk Islam karena ia menyadari sifat Allah dalam Islam. "Menarik bagiku," katanya.

Susan merupakan dosen di Universitas Monash di Melbourne dan ahli dalam bidang gender dan sosiologi agama. Ia pun mengaku mencintai Islam tanpa adanya sedikit pun keraguan. "Orang-orang yang paling menginspirasi dan hebat yang pernah aku temui adalah Muslim," kata Susan.

Pada Februari 2002, Susan menikah dengan seorang pengacara Melbourne, Waleed Aly yang merupakan eksekutif Dewan Islam Victoria. Waleed Aly saat ini juga menjadi dosen ilmu politik di Universitas Monash dan bekerja di Pusat Penelitian Terorisme Global.

Susan pun menegaskan, saat dirinya memutuskan menjadi mualaf, tak ada orang lain yang mempengaruhinya dan itu merupakan keputusannya sendiri. Sebab, saat menjadi Muslim, ia belum menikah dengan Waleed.

Dalam Islam, Susan mengatakan ia menemukan keyakinan yang damai, egaliter, berkeadilan sosial, dan memiliki keseimbangan jiwa dan intelektual yang indah.

sumber : Republika

Popular posts from this blog

Gagal Jadi Menteri Jokowi, Rieke Diah Pitaloka Kini Resmi Cerai dengan Suami

Dulu sempat tersiar kabar, Rieke Diah Pitaloka (Oneng) akan di jadikan menteri dalam kabinet kerja Jokowi. Isu yang berkembang - saat itu - adalah Menteri Tenaga Kerja danTransmigrasi Indonesia. Tapi dalam pengmuman kabinet kerja Jokowi, nama "Oneng" tak ada disebutkan. Yang terjadi, Politisi PDIP tersebut bukan saja gagal jadi menterinya Jokowi. Resmi bercerai dengan suami membuat Rieke juga gagal membangun mahligai rumah tangganya. Dilansir laman Detik (24/3), kabar mengejutkan datang dari artis sekaligus politikus Rieke Diah Pitaloka. Ia ternyata telah bercerai dengan sang suami, Donny Gahral Adian. Isu keretakan rumah tangga Rieke dan Donny memang sudah lama terdengar, bisa dibilang sejak pertengahan tahun lalu. Kabar tersebut ternyata bukan gosip belaka. Saat ini, keduanya sudah resmi bercerai. Hal itu dikonfirmasi oleh Humas Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat, Suryadi. "Iya, benar (telah cerai)," ucap Suryadi kepada detikHOT lewat pesan singkat,

Alamak! Bentuk Tim Independen, Jokowi Bikin Konflik KPK vs Polri Makin Rumit

Aksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat tim independen untuk memediasi konflik KPK dan Polri bukan memberikan solusi, tetapi menambah polemik dan masalah menjadi rumit. "Pembentukan tim independen bukanlah solusi tapi akan membuat polemik ini makin kusut dan berliku," tegas dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki, kepada wartawan, Selasa (27/1). Menurutnya, terdapat beberapa alasan tim independen tak dibutuhkan. Pertama, belum ada dasar hukum yang jelas pembentukan tim tersebut apakah keppres atau dasar hukum teknis lainnya. "Karena bila tidak dibekali dasar hukum yang jelas, tim tidak akan efektif bekerja menggali fakta dan memanggil para pihak," katanya. Kedua, Presiden seperti tidak belajar dari pengalaman sebelumnya bahwa selama ini pengelolaan negara menjadi tidak efektif karena terlalu banyak tim yang nomenklaturnya tidak jelas dan justru tumpang tindih dengan lembaga atau institusi yang

Contact

Kritik, saran atau pemasangan iklan bisa dikirim ke email maidany@gmail.com. Tulis di subjek : Kritik, Saran atau Iklan. Terima Kasih Redaksi