Beberapa waktu lalu PT Pertamina (Persero) beralibi bahwa kenaikan harga premium atau BBM jenis RON 88 adalah domain pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM. Tak mau dituding dan diludahi rakyat, Kementerian ESDM pun menampik bahwa Pertamina malah mengusulkan BBM naik Rp 8.200/liter karena harga keekonomian di pasar kian terkerek (mahal).
Pertamina dan Kementerian ESDM seperti kucing dan tikus, saling uber, saling menggigit. Padahal pertamina itu BUMN; yang mestinya lingkage dengan kedaulatan negara karena semua atau 51% sahamnya adalah berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Pertamina mengusulkan harga BBM premium Rp 8.200 dan pemerintah menekannya menjadi Rp 7.300/liter, maka selisihnya itu subsidi APBN (uang rakyat), terkecuali selisih tersebut tak mau ditanggung pemerintah, maka Pertamina harus berputar otak, menutup selisih antara harga keekonomian di pasar dan harga yang diinginkan pemerintah. Pertamina pun tak mau rugi secara korporasi. Siapa korbannya?
Coba Anda bayangkan, bobroknya sistem perminyakan kita, di mana antara operator dan regulator saling menekan. Lain hal bila pemerintah tegas, mencari formula harga yang tepat dan berpihak kepada rakyat agar harga BBM tak memusingkan dan konsisten, agar iklim industri dalam negeri tak ikut panas-dingin mengikuti kebijakan pemerintah yang serbalabil, dan juga tak menekan daya beli masyarakat akibat inflasi.
Alih-alih mencari formula harga, kini pemerintah, dan juga pertamina akan menghapus BBM jenis premium dengan dalih BBM jenis RON 88 yang menjadi bahan Premium sulit ditemukan di pasar. Dengan beralih 100% ke Pertamax atau ke Pertalite, maka 100% subsidi untuk rakyat dicabut; yang kemudian di-eufemisme-kan dengan pengalihan subsidi ke pendidikan, dan infrastruktur. Hasilnya?
Apakah pendidikan kita sudah murah, gratis, dan berkualitas? Saya bahkan tak menemukan lingkage konsepsi Pemerintahan Jokowi antara pengalihan subsidi BBM dan peningkatan Human Development Idex (HDI) di Indonesia. Yang saya lihat, pemerintah hanya keukeuh melonggarkan fiskal pada APBN demi tol laut dan zona ekonomi maritim yang ilutif itu. Saya jadi ingat MP3EI dan zona ekonomi maritim Jokowi, dua-duanya 11-12, tak ada payung hukum (undang-undang), dan hanya menjadi arwah gentayangan pembangunan.
Jadi penghapusan subsidi itu untuk ego negara an sich; bukan orientasi kerakyatan! Di satu sisi, jeratan inflasi akibat kenaikan premium ataupun penghapusan BBM Premium kian mencekik rakyat. Yang miskin tambah miskin, yang nyaris miskin terperosok jadi orang miskin baru.
Di tengah-tengah situasi itu, Presiden hanya bisa tampil sebagai lubang sirkulasi, antara kepentingan korporasi Pertamina dan pencitraan pemerintah. Maka beberapa waktu lalu, kenaikan harga BBM dilakukan diam-diam dengan mengirim surat elektronik (email) ke beberapa media kolaborator pemerintah, adalah bentuk terkikisnya kekuatan presiden sebagai kepala negara. Tidak punya sikap apalagi ideologi untuk membela rakyat. Kebijakan dan politik BBM kita seperti ada dalam ruang hampa, tanpa sebuah kekuatan besar bernama negara yang tampil gagah membela rakyatnya. Seperti negara tanpa presiden.
Sebuah negara penuh ilusi, harapan untuk rakyat dibungkus imajinasi. Presiden tak berdiri dengan kakinya, dan tak memegang dengan tangannya. Rakyat bersandar pada kekuasaan yang getas dan pseudo. Presiden tak berdaya dengan hegemoni kekuatan lain yang hadir dalam bentuk impersonal, tapi mengatur, memerintah, bahkan bisa mencekoki, karena Presiden hanyalah petugas partai.
Penulis : Munir A.s
sumber : Kompasiana