Masih di bulan yang sama, yakni bulan Apri 2015 kejadian yang dinilai sebagai pelecehan menimpa Presiden Jokowi. Hanya saja berbeda tanggal dan tempat peristiwa itu terjadi.
Dalam pidatonya di Kongres PDIP IV Bali (9-12/4/15) Megawati di nilai melecehkan Jokowi dengan kembali menyebut Jokowi adalah "petugas partai". Media asing The Wall Street Journal pun menjadikan pernyataan Mega sebagai berita dengan judul "Mega's Messeage to Jokowi: I'm the Boss".
Walau PDIP membantah bahwa sebutan petugas partai adalah sebuah pelecehan. Fakta yang terjadi adalah: sesama pendukung dan relawan Jokowi banyak yang keberatan dengan istilah petugas partai tersebut. Lantaran, Jokowi jadi presiden bukan saja investasi politik PDIP an sich semata, namun ada jerih payah pendukung dan relawan yang bukan kader PDIP dan -mugkin- tidak pernah mau j adi kader "moncong putih".
Lain lagi, Jokowi yang sudah datang dengan fasilitas negara tapi tidak di kasih waktu untuk berpidato pada momen kongres PDIP ke IV di Bali. Kalau ini bukan pelecehan, lalu apa namanya?
Beberapa minggu setelah kejadian tersebut, tepat pada tanggal 23 April 2015 terjadi pemberitaan yang -lagi- membuat heboh. Hal ini terkait dengan pidato Jokowi di acara pembukaan Konferensi Asia Afrika (KAA) ke 60.
Pada saat ramai yang memuji pidato Jokowi dan berikan "standing applaus", ada pengakuan dari Sekretaris Kabinet (Seskab) Istana, Andi Widjajanto yang pamer dengan mengaku bahwa dirinya beserta beberapa orang lainnyalah yang menyusun pidato hebat Presiden Joko Widodo saat membuka Konferensi Asia Afrika (KAA).
Tentu saja pernyataan Andi dinilai telah merendahkan martabat Jokowi sebagai kepala Negara.
Dilansir Rmol (23/4), menurut ekonom senior Dradjad H Wibowo, kehebatan pidato Jokowi bisa diuji dengan kriteria-kriteria obyektif tentang pidato yang hebat. Misalnya terkait dengan substansinya, nilai bobot pesan yang disampaikan, diksi yang dipilih, ataupun keberadaan memorable quotes. Kehebatan pidato juga bisa dinilai dari dampaknya, seperti apakah menggerakkan hati dan pikiran pendengar atau tidak, serta apakah berdampak untuk waktu yang cukup lama atau tidak.
Hal yang menjadi catatan Dradjad adalah terkait dengan pengakuan Seskab Andi Widjanto tak lama setelah Jokowi berpidato. Andi mengatakan bahwa pidato Jokowi itu dibuat oleh tim yang diantaranya ada dia sendiri, Luhut Panjaitan, Rento Marsudi, Rizal Sukma dan lain-lain.
Dradjad mengatakan bahwa pengakuan Andi ini sangat tidak lazim. Dengan pengakuan ini, Andi seakan-akan menyampaikan pesan bahwa tim pembuat pidato lah yang hebat.
"Dan secara tidak langsung ini merendahkan Presiden. Penyataan Andi membuat saya geleng-gelang kepala," kata Dradjad kepada Kantor Berita Politik RMOL beberapa saat lalu (Kamis, 23/4)
Dradjad kemudian membandingkan dengan para presiden dan para penulis pidatonya dari berbagai belahan dunia, dari zaman yang berbeda. Presiden AS Ronald Reagan, yang dikenal tak cukup pandai misalnya, begitu memukau ketika menyampaikan pidato hebat di Bradenburg Gate pada12 Juni 1987 dan mengatakan: "Mr Gorbachev, tear down this wall". Beberapa tahun kemudian, Benteng Berlin runtuh dan terjadi perubahan luar biasa dalam kehidupan dunia. Dan yang pasti, saat itu hingga beberapa waktu yang cukup lama, tidak ada yang mengaku menjadi penulis pidato sang presiden yang tak cukup pandai itu.
Juga, lanjut Dradjad, tidak ada yang langsung mengaku menulis pidato Martin Luther King "I Have a Dream" yang sangat fenonemal itu. Dan tidak yang menonjolkan diri dengan mengaku langsung telah menulis pidato presiden Kennedy yang kata-katanya sering dikutip hingga kini: "My fellow Americans, ask not what your country can do for you. Ask what you can do for your country".
Contoh lain, sambung Dradjad, tidak ada yang mengaku langsung telah menulis "The King cannot speak for himself" dalam pidato Perdana Menteri Stanley Baldwin ketika Edward VIII harus memilih antara tahtanya atau cintanya.
"Itulah tata krama yang lazim. Speech writers bertugas membuat bosnya terlihat hebat, bukan dirinya. Mungkin nanti setelah beberapa tahun, nama dia akan muncul. Wajar. Tapi dia (AW) pamer pada hari yang sama dengan saat Presiden Jokowi pidato," demikian Drajad dilansir Rmol.
Perbedaannya, jika di Kongres PDIP IV, Presiden Jokowi selain di juluki petugas partai, Jokowi tidak dapat "panggung" alias tidak diperkenankan pidato. Sedang di forum KAA, Jokowi berpidato, tapi yang terjadi, ada pembuat narasi pidato Jokowi seperti tidak ikhlas dan mau dapat "panggung" juga" sepertinya. "Nggak di Kongres PDIP, nggak di Forum KAA," Presiden Jokowi selalu dan tetap saja dilecehkan. [sal]