Hampir semua tulisan tentang eksekusi Bali Nine di media Australia memojokan Indonesia, dan memperlihatkan simpati untuk Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Namun, tidak dengan tulisan Jon Donnison di BBC Australia.
Donnison, dalam tulisan Does Australia have double standards for Bali Nine duo? memberi pemahaman soal sikap Negeri Kanguru dan Barat, yang kerap menganggap warganya tidak layak dihukum di negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, dan Singapura, atau di negara lain dengan sistem hukum yang dituduh korup.
Chan dan Sukumaran telah lama diicar polisi Australia. Keduanya ditangkap polisi Indonesia tahun 2006, ketika mencoba menyelundupkan narkoba dari Bali ke Australia.
Donnison menulis; Bayangkan jika saat itu Chan dan Sukumaran berhasil membawa 8,3 kilogram heroin itu ke Australia, berapa besar kontribusi keduanya terhadap kehancuran banyak orang.
Pencandu narkoba remaja, tulis Donnison, mungkin ditemukan tewas di gang-gang, dengan jarum tergantung di lengan, atau mereka mati tersedak, lalu keluarga mereka berduka.
Chan dan Sukumaran tidak peduli akan semua itu. Keduanya hanya tahu uang. Mereka tidak peduli risiko narkoba untuk generasi masa depan.
Mereka siap menyelundupkan narkoba dari negara yang terkenal dengan perlakuan kasar para bandar, dengan risiko dieksekusi. Pada saat itu, hukuman yang layak bagi Chan dan Sukumaran adalah mati.
Setelah divonis mati, Chan dan Sukumaran menghuni Penjara Kerobokan Bali. Selama di penjara keduanya menjadi berbeda. Chan banyak menghadiri misa di gereja. Sukumaran membagi kemampuannya.
Rincinya, Sukumaran mengajar filsafat, Bahasa Inggris, dan desain grafis, ke sesama tahanan. Semua itu berlangsung selama lebih delapan tahun.
Ketika keduanya harus menjalani eksekusi di depan regu tembak, simpati bermunculan. Tidak hanya di Australia, tapi juga Indonesia.
Meski demikian, di setiap negara di dunia, orang setuju gembong narkoba harus dihukum berat dan untuk waktu yang lama. Namun, dalam kasus Chan dan Sukumaran, ada standar ganda yang dimainkan Australia.
Di masa lalu, Australia kerap memprotes jika warganya dihukum mati. Tahun 1993, misalnya, Malaysia mengeksekusi pedagang heroin Australia Michael McAuliffe. Sebelumnya, tahun 1986, Malaysia juga mengeksekusi Kevin Barlow dan Brian Chambers.
Singapura menggantung Nguyen Van Tuong, WN Australia keturunan Vietnam, tahun 2005 setelah tertangkap dengan heroin terikat di tubuh.
Menurut Donnison, selalu menjadi asumsi di Barat bahwa orang asing yang dihukum di negara seperti Indonesia, Malaysia, dan Singapura, tidak bersalah, karena sistem peradilan dan kepolisian di negara-negara itu korup.
Dalam kasus Chan dan Sukumaran, Australia berani melancarkan tuduhan bahwa hakim di Indonesia menawarkan keringanan hukuman dengan imbalan suap 102 ribu dolar AS.
Di sisi lain, Australia tidak berteriak-teriak ketika warga non-Australia dieksekusi di ketiga negara ini. Tidak mencemooh AS yang kerap menggantung dan mendudukan penjahat di kursi listrik, atau mencibir Tiongkok yang kerap menghukum mati warganya dan orang asing.
Australia menjalin hubungan erat dengan Indonesia, Jepang, dan Tiongkok -- tiga negara yang menerapkan hukuman mati. Canberra akan kesulitan mendikte Jepang dan Tiongkok, tapi kini mereka juga gagal mendikte Indonesia.
Canberra menarik duta besar dari Jakarta. Donnison yakin itu tidak akan lama. Kedua negara memiliki hubungan saling membutuhkan. Australia butuh Indonesia untuk mencegah imigran memasuki wilayahnya.
Simpati untuk Chan dan Sukumaran dipastikan akan lenyap setelah keduanya masuk liang lahat. Setelah itu, tunggu sekian bulan dan Indonesia bisa mengeksekusi pejahat dari negara lain tanpa mendengar Australia teriak-teriak. [sal/inilah]