Ferrasta Soebardi (Pepeng) telah meninggal Rabu 6 Mei 2015. Namun, kenangannya masih terasa. Salah satunya, puisi cinta yang ditulis almarhum untuk istrinya yang membuat orang yang membacanya meleleh (menangis).
Pepeng harus menjalani hidup di atas tempat tidur setelah divonis mengidap penyakit Multiple Sclerosis sejak 10 tahun terakhir. Namun, Pepeng terus semangat. Bahkan, rasa cinta Pepeng dan istrinya, Utami Mariam Siti Aisyah (Uta), semakin kuat. Uta setia mendampingi sang suami menjalani hidup dengan penyakit yang tidak ada obatnya.
Sebagai bentuk romantisisme Pepeng pada sang istri, pria berdarah Madura itu menulis puisi cinta. Membaca puisi cintanya Anda bisa menangis haru.
Puisi Pepeng untuk istrinya:
Dua orang mahasiswa mengikat cinta dalam perkawinan untuk menghindari berbagai hubungan yang dilarang Sang Khalik.
Hari itu, 30 Oktober 1983, si pria 29 tahun dan gadisnya 22 tahun. Dua orang mahasiswa mengikat cinta dalam perkawinan untuk mendapat keturunan sepeti yang diperintahkan Sang Khalik.
Anak pertama lahir, si bapak mengurus, menjaga malam hari, mengganti popok, dan memandikan, si ibu menyusui. Mereka masih muda dan saling mencinta. Si pria 32 tahun dan kekasihnya 25 tahun.
Si pria sudah sarjana, setelah 10 tahun, setelah mempunyai anak dua. Mereka masih muda dan saling mencinta, si pria 34 tahun dan kekasihnya 27 tahun.
Si pria sudah bekerja, kekasihnya sudah sarjana, anak mereka sudah empat. Hari itu mereka memasuki rumah yang diidamkan oleh setiap keluarga. Mereka masih bugar dan saling mencinta. Si pria 42 tahun dan kekasihnya 35 tahun.
Hari ini si pria 54 tahun, ia tergeletak karena sakitnya didampingi oleh kekasihnya yang 47 tahun, tidak muda lagi menjelang ulang tahun perkawinan mereka yang ke-25.
Dalam sakitnya, berkelebat semua kenangan dengan kekasihnya. Dalam sakitnya ia menulis untuk kekasihnya:
“Dik Uta,” demikian panggilan kesayangan sang pria setelah sakit untuk kekasihnya yang bernama Utami.
Saya tidak akan pernah lupa ketika awal penyakit itu datang kamu menenangkan saya dengan kata-kata, “Kita sedang menjalani peran baru.”
Subhanallah, Dik Uta, kata-kata itu sangat menjadi inspirasi untuk saya menjalani sakit saya. Saya selalu berdoa, “ Ya Allah berilah kecerdasan untuk kami agar kami selalu melihat semua ketetapan-Mu melalui sudut pandang yang membahagiakan.”
Peran baru, itu adalah salah satu sudut pandang yang cerdas dan membahagiakan.
Ah, Dik Uta, terlalu banyak dan panjang jika saya tulis betapa besar rasa terima kasih atas ketegaranmu menjalani peran baru ini.
Saya tahu Dik Uta sedih, tapi kamu tetap tegar.
Saya tahu Dik Uta takut, tapi kamu tetap tegar.
Saya tahu Dik Uta lelah, tapi kamu tetap tegar, mengurus saya, membersihkan dan membalikkan bada saya setiap satu jam di malam hari.
Saya tahu Dik Uta ingin jalan-jalan untuk menghilangkan jenuh, tapi kamu tetap tegar mendampingi saya karena saya tidak bisa ditinggal terlalu lama sendiri.
Saya tahu Dik Uta selalu mengharapkan kata-kata cinta dari saya, tapi kamu tetap tegar walau kamu tak pernah mendengar kata-kata itu.
Hari ini kamu akan mendengar dari mulut saya.
"Dik Uta, aku cinta kamu tanpa batas. "
"Saya akan selalu bahagiakan kamu tanpa batas. "
"Saya akan selalu ada untuk kamu tanpa batas. "
Kelak kalau saya sudah bisa jalan, kita akan pergi kemana pun kamu mau, yang selama ini tidak pernah kita lakukan.
Dik Uta, pikirkanlah yang terbaik tentang cita-cita kita, karena Allah berfirman, "Aku sebagaimana prasangka hamba-Ku."
Februari, 2009
Pepeng Ferrasta
Sumber : Rimanews
Comments
Post a Comment