Perda DKI Nomor 8 Tahun 2017 tentang ketertiban umum ternyata bisa digunakan untuk menjerat pekerja seks komersial (PSK) dan para hidung belang. Sayangnya, Pemprov DKI selalu menggunakan perda ini hanya untuk menertibkan PKL, pengemis, atau gelandangan.
Pengamat Sosial dan Budaya Universitas Indonesia Devie Rahmawati mengungkapkan, sudah ada peraturan yang mengatur mengenai pengguna PSK namun masih dalam tahap level lokal sepert Perda.
"Momentum kasus AA sebenarnya dapat digunakan untuk menegakkan Perda tersebut," ujar Devie saat dihubungi, Kamis (14/5/2015).
Devie sangat berharap, kasus prostitusi artis ini dapat menjadi alarm bagi para pengguna PSK di Jakarta dan kota-kota lain.
"Jika apa yang sudah didesain dan diterapkan di DKI berjalan efektif, tentu saja ini berpeluang untuk diadopsi di level nasional," terangnya.
Diketahui, Perda DKI Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum Pasal 42 ayat 2 yang berbunyi setiap orang dilarang: a. menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi penjaja seks komersial; b. menjadi penjaja seks komersial; c. memakai jasa penjaja seks komersial.
Ancaman dari pelanggaran perda ini seperti tertuang dalam Pasal 61 ayat 2 adalah pidana kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp500 ribu dan paling banyak Rp 30 juta.
Sebelumnya, Polisi mengaku tidak bisa menetapkan artis seksi AA karena terbentur undang-undang. Polisi hanya menjerat Robby Abbas alias Obie (32) yang menjadi mucikari artis. Obie dijerat dengan Pasal 296 dengan ancaman hukuman satu tahun empat bulan atau denda paling banyak Rp15 ribu. Sedangkan dalam ketentuan di Pasal 506, PSK hanya dihukum penjara satu tahun.
[sal/okezone/sindonews]