Dalam berbagai media, ramai diberitakan bahwa Jokowi berani bersikap tegas kepada China terkait dengan klaim China atas beberapa wilayah di Laut China Selatan yang masih menimbulkan sengketa dengan sekitar 6 negara lain di kawasan itu. Dalam wawancara dengan koran Jepang Yoomiuri Shimbun yang kemudian dikutip Reuters diberitakan bahwa tidak ada dasar hukum atas klaim China terhadap 9 garis putus-putus di wilayah Laut China Selatan. “Sembilan garis putus-putus yang Cina terapkan tidak punya landasan dalam hukum internasional manapun,” demikian katanya. Ungkapan ini tentunya sangat berani dan heroik, karena tidak banyak negara yang berani menentang China yang merupakan kekuatan ekonomi nomor 2 saat ini. Banyak media yang kemudian memuatnya dengan nada kagum, termasuk juga media-media yang selama ini mungkin dianggap nyinyir terhadap kebijakan Jokowi, misalnya Republika.
Dapat dilihat beberapa judul berita berikut:
- Merdeka memberi judul berita: Jokowi akhirnya ‘galak’ pada China soal Natuna
- Republika memberi judul berita: RI: Klaim Cina Tak Berdasar Hukum Indonesia telah mengirim sikap resmi terhadap masalah sengketa pada 2009
Namun berita itu kemudian dibantah sendiri oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia,yang menyebutkan bahwa Reuters salah kutip dari sumber berita aslinya Yomiuri Shimbun.Yang dimaksud Jokowi menurut juru bicara Kemenlu hanya terkait dengan garis putus-putus yang berada di Kepulauan Natuna yang menjadi wilayah Indonesia, bukan keseluruhan garis tersebut. Posisi tersebut, ternyata sama dengan posisi yang disampaikan oleh pemerintahan SBY sejak tahun 2009, jadi sebenarnya tidak ada yang baru. Ralat ini, yang sekaligus menyangkut 2 media pers besar dan berkredibel tinggi seperti Yomiuri Shimbun dan Reuters, tentunya cukup memalukan karena mereka tentu sudah melakukan check and recheck sebelum menayangkan berita. Tidak ada konfirmasi lebih lanjut apakah Reuters menanggapi kembali pemberitaan tersebut.
Kebiasaan membantah berita yang sudah beredar, apalagi yang berlingkup internasional tentunya sangat berbahaya karena menyangkut kredibilitas seorang pemimpin negara. Saat inipun, di media sosial beredar berita bahwa Jokowi tidak diterima dengan baik di China. Pemberitaan tadi adalah salah satu sebab, sedangkan sebab yang lain adalah Cina merasa dinomerduakan setelah Jepang. Sebagai negara dengan kekuatan ekonomi besar dan semakin dominan, China tentunya tidak mau diremehkan begitu saja. Kabarnya, tidak ada sambutan semeriah pemimpin negara lainnya yang langsung disambut oleh PM, sementara Jokowi hanya oleh sekelas menteri. Jokowi dinilai tidak memahami sense dalam hubungan internasional. Tentu berita ini masih perlu diverifikasi karena tidak beredar di media-media utama.
Di luar itu, sebenarnya apa yang disampaikan Jokowi mengenai Laut China Selatan ini seperti menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri. Beberapa orang tentu masih ingat jawaban apa yang disampaikan Jokowi dalam debat calon presiden waktu itu mengenai konflik di Laut China Selatan, begini jawabannya: “Ini adalah urusan negara lain dengan negara yang lain. Tapi kalau kita bisa masuk dan bisa berperan, juga lebih baik. Tapi harus kita amati dan cek, apakah kita masuk ke konflik itu justru membuat kita berhubungan tidak baik dengan Tiongkok, lalu apakah kita bisa kasih solusi,” kata Jokowi.
Sekarang, dia seolah mendapat karma, karena masalah ini bukan hanya urusan negara lain, karena Natuna sudah diklaim sebagai bagian wilayah China. Hal ini berarti, masalah ini bukan hanya masalah antar negara lain, tetapi kitapun sudah masuk sejak 2009, jauh sebelum debat presiden itu dimulai. Waktu itu, mungkin para pemutarbalik opini bisa dengan begitu canggih mengalihkan kesalahan atau keluguan calon presiden yang tidak menguasai permasalahan internasional itu. Namun kini semua terbuka, dan dia malahan dengan polosnya menentang sang raksasa itu, walau buru-buru kemudian meralatnya.
***
Penulis : Sembada Dora
sumber; Kompasiana