Skip to main content

Demi Indonesia: "Jokowi Lebih Baik Berteman Duda Daripada Di Dikte Janda..."


Begitulah sebuah pribahasa yang di temukan pada sosial media twitter pasca bertemunya "dua pendekar" di Istana Bogor, Kamis 29/1/2015, siang jelang sore hari. Walau durasi pertemuan tidak sampai satu jam, -sekitar 45 menit- namun kejadian tak terduga itu begitu menguras perhatian ratusan juta mata rakyat Indonesia, termasuk dunia internasional.

Ada banyak asumsi yang di hadirkan oleh pengamat atas pertemuan tersebut. Masing-masing asumsi ada yang subjektif, ada juga yang berusahan objektif. Untuk hal ini kembali kepada siapa yang memberikan asumsi atau penilaian.

Seorang pengamat, Qodari sebut Jokowi mulai sadar, bahwa dalam mengelola kekuasaan didalam sebuah negara butuh kerjasama berbagai elemen bangsa. Tidak bisa hanya Koalisi Inodnesia Hebat (KIH) saja, sinergisitas antar KIH dan KMP amat sangat di butuhkan. Jadi, dalam konteks ini, Qodari ada benarnya. Ingat, Jokowi dulu sempat sumbar keluarkan pernyataan tidak butuh DPR, tapi akhirnya mulai sadar juga bahwa bapak dari 3 anak itu sedang urus negara, bukan urut RT atau organisasi PKK. (Baca, Jokowi Mulai Sadar)

Laman Piyungan Online lebih "maju lagi" dalam membuat berita: "Dibawah Lindungan Prabowo" .  Pesan yang ingin disampikan adalah: Jokowi sedang dalam masalah besar, sehingga butuh perlindungan politik dari pria duda yang bernama Prabowo Subianto.

Lalu, ada apa dengan KIH? Komplikasi akut jawabnya. Mungkin Jokowi sudah merasa gerah di dikte (baca: diatur) sama wanita janda yang bernama Megawati itu. Bingung mau berlindung kepada siapa, Prabowo pun menjadi pilihan untuk tempat berlindung bagi kemapanan dan kelanggengan Jokowi di dunia politik. Karena dalam kondisi krisis yang di alami Jokowi saat ini, wajar saja jika presiden ke-7 itu butuh sokongan.

Dugaan tersebut - bisa di nyatakan - benar adanya jika membaca isi pidato Jokowi usai bertemu dengan Prabowo. Dalam pidatonya itu, Jokowi sebutkan bahwa Prabowo mendukung pemerintahan yang di pimpinnya. (Baca, Isi Pidato Jokowi Usai bertemu Prabowo)

Secara tersirat bisa dibaca ikhtiar politik Jokowi untuk jumpa Prabowo adalah agar tahu apa sikap politik KMP dan Prabowo yang terbaru dan terkini ditengah krisis kepercayaan publik yang di alami Jokowi. Ditengah banyak protes dari pendukungnya sendiri, ternyata KMP dan Prabowo masih setia pada komitmen di awal, belum berubah dan 'tulus' dalam bekerja.

Dalam waktu yang hampir bersamaan sebelumnya, sebuah upaya provokasi sempat di suarakan Politisi PDIP Effendi Simbolon. Di sebuah kesempatan effendi menyatakan: "Sekaranglah saatnya makzulkan Jokowi". Tapi tampaknya upaya calon Gubernur Sumut yang kalah itu- dulu, tidak berhasil. Yang ada, KMP dan Prabowo malah siap menampung Jokowi jika mau pindah dari KIH ke KMP. Faktanya, Prabowo dan KMP tidak mau ikut dalam "sandiwara" politiknya PDIP. (Baca, Fadli Zon: KMP Siap Tampung Jokowi).

Apa dan mengapa "Jokowi lebih baik berteman dengan duda daripada di dikte sama janda?" Ada banyak alasan yang rasional. Namun tidak semua harus di paparkan, cukup dua saja.

Pertama: Prabowo adalah orang yang ikhlas. Hal ini sudah di nyatakan oleh almarhum Gusdur ketika itu. "Orang yang paling ikhlas ya Prabowo," kira-kira pernyataan mantan Presiden RI dalam siaran tv swasta kala itu. Faktanya, tidak ada yang salah dengan ucapan Gusdur itu. Walau berapa kali di khianati di dunia politik, Prabowo tetap ikhlas terima semuanya. Sang Jendral pernah di khianati sama Megawati terkait perjanjian batu tulis, namun dalam acara debat Pilpres 2014 lalu, Prabowo tetap memberi hormat kepada Ketua Umum PDIP itu.

Selain Mega, Jokowi juga mengkhianatinya. Dalam ajang Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta, Prabowo dinilai orang yang sudah berjasa mengantarkan "pria desa" itu jadi orang nomor satu di Jakarta. Tapi apa balasan Jokowi kepada Prabowo? Jokowi malah dengan "soknya" siap berduel melawan Prabowo di ajang kontes pilpres 2014. Dan ketika itu, Jokowi sebutkan bahwa ia jadi gubernur DKI Jakarta bukan karena Prabowo, tapi karena rakyat, seperti penyataan Nanik S Deyang di salah satu kesaksiannya terkait siapa sebenarnya Jokowi.

Sedang Megawati sendiri, walau ia yang mengutus Jokowi jadi Gubernur dan Presiden RI, namun semua itu di dapatkan Jokowi tidak gratis. Pria asal Solo itu kini harus membayar hutang kepada Megawati dalam banyak hal. Sampai - sampai ia harus di cap sebagai presiden boneka. Apa perintah Mega tampaknya Jokowi harus selalu siap sedia melakukannya. Padahal hampir semua permintaan politik Megawati selalu berbenturan dengan hati nurani rakyat. Tapi karena Jokowi harus bayar hutang, ia tetap lakukan, walau ratusan juta rakyat jadi korban.

Jokowi boneka Megawati sepertinya tidak menjadi rahasia umum lagi. Bahkan ada aktivis yang menanyakan dan tertulis di media dalam bentuk pertanyaan kepada Jokowi, berbunyi : "Pak Jokowi, Presiden Indonesia itu Anda atau Megawati sih?"

Dan dalam bentuk gambar karikatur ada banyak juga yang merepresentasikan hal serupa. Ini sudah menjadi komsumsi publik. Walau dalam berbagai kesempatan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) selalu membantah tudingan tersebut dengan berbagai cara. Tapi pembelaan yang dilakukan PDIP bukan malah memuaskan publik, yang ada hanya jadi blunder kepada Megawati dan PDIP sendiri. Karena dalam kenyataannya susah untuk mempecayai pembelaan partai "Moncong putih" itu. Dalam pembentukan kabinet, penujukan Jaksa Agung, Hakim MK, dan yang terakhir penunjukkan calon Kapolri sangat bisa dibaca publik ada intervensi Megawati di sana.

Selain itu, alasan kedua adalah: Prabowo walau telah di khianati oleh Jokowi dengan elegan siap membantu kinerja pemerintahan Jokowi. Walau ada peluang untuk lakukan pemakzulan, tapi tidak mau ia dilakukan. Karena Prabowo memiliki sifat negarawan sejati. Ada kepentingan bangsa yang lebih besar dari itu, mungkin keyakinan yang dimiliki ayah satu orang anak itu.

Dan, yang membuat publik tercengang adalah, Prabowo dengan ikhlas memberikan gelar terbaru kepada Jokowi. Ya, gelar "Pendekar Utama" adalah gelar yang prestisius disandangkan kepada pria yang bernama asli Joko Widodo.

Sedang Megawati hanya berikan Jokowi sebuah gelar "Petugas Partai" saja.

Itu mungkin dua alasan -saja- dari banyak alasan yang bisa di sajikan tentang apa dan mengapa "Jokowi lebih baik berteman dengan duda daripada di dikte seorang janda...". Terkesan sepele, namun ini amat serius, kenapa? Karena demi Indonesia. Karena di sekeliling janda yang bernama megawati itu, ada "pak tua" dan "pria berewok" yang terkenal dengan kemunafikannya. [JK Sinaga]    

Popular posts from this blog

Gagal Jadi Menteri Jokowi, Rieke Diah Pitaloka Kini Resmi Cerai dengan Suami

Dulu sempat tersiar kabar, Rieke Diah Pitaloka (Oneng) akan di jadikan menteri dalam kabinet kerja Jokowi. Isu yang berkembang - saat itu - adalah Menteri Tenaga Kerja danTransmigrasi Indonesia. Tapi dalam pengmuman kabinet kerja Jokowi, nama "Oneng" tak ada disebutkan. Yang terjadi, Politisi PDIP tersebut bukan saja gagal jadi menterinya Jokowi. Resmi bercerai dengan suami membuat Rieke juga gagal membangun mahligai rumah tangganya. Dilansir laman Detik (24/3), kabar mengejutkan datang dari artis sekaligus politikus Rieke Diah Pitaloka. Ia ternyata telah bercerai dengan sang suami, Donny Gahral Adian. Isu keretakan rumah tangga Rieke dan Donny memang sudah lama terdengar, bisa dibilang sejak pertengahan tahun lalu. Kabar tersebut ternyata bukan gosip belaka. Saat ini, keduanya sudah resmi bercerai. Hal itu dikonfirmasi oleh Humas Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat, Suryadi. "Iya, benar (telah cerai)," ucap Suryadi kepada detikHOT lewat pesan singkat,

Alamak! Bentuk Tim Independen, Jokowi Bikin Konflik KPK vs Polri Makin Rumit

Aksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat tim independen untuk memediasi konflik KPK dan Polri bukan memberikan solusi, tetapi menambah polemik dan masalah menjadi rumit. "Pembentukan tim independen bukanlah solusi tapi akan membuat polemik ini makin kusut dan berliku," tegas dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki, kepada wartawan, Selasa (27/1). Menurutnya, terdapat beberapa alasan tim independen tak dibutuhkan. Pertama, belum ada dasar hukum yang jelas pembentukan tim tersebut apakah keppres atau dasar hukum teknis lainnya. "Karena bila tidak dibekali dasar hukum yang jelas, tim tidak akan efektif bekerja menggali fakta dan memanggil para pihak," katanya. Kedua, Presiden seperti tidak belajar dari pengalaman sebelumnya bahwa selama ini pengelolaan negara menjadi tidak efektif karena terlalu banyak tim yang nomenklaturnya tidak jelas dan justru tumpang tindih dengan lembaga atau institusi yang

Contact

Kritik, saran atau pemasangan iklan bisa dikirim ke email maidany@gmail.com. Tulis di subjek : Kritik, Saran atau Iklan. Terima Kasih Redaksi