Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) berusia 100 hari pada 28 Januari mendatang. Sejak resmi dilantik sebagai presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2014 lalu.
Kalangan aktivis menilai, selama 100 hari ini, banyak kebijakan yang dibuat pemerintahan Jokowi-JK justru melenceng dari janji-janjinya ketika berkampanye di Pilpres 2014 dengan mengambil konsep Trisaksi dan dituangkan dalam program Nawacita.
Salah satunya kebijakan fenomenal yang berdampak luas adalah pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM).
"Ada logika yang keliru ketika Jokowi mengatakan bahwa subsidi BBM terlalu besar dan membebani APBN," kata koordinator Pusat Perlawanan Rakyat Indonesia (PPRI) Lamen Hendra Saputra dalam jumpa pers di kantor YLBHI, Jalan Diponegoro, Jakarta, Senin (26/1).
Menurutnya, akar persoalan BBM adalah ketiadaan daulat negara dalam mengelola sektor hulu migas, dan pembiaran negara terhadap mafia migas yang menguasai sektor hilir.
Dia menjelaskan, meski pemerintah telah menurunkan kembali harga BBM pada 1 Januari dan 19 Januari namun dapat dilihat bahwa maksud terselubung dari kepentingan pencabutan subsidi BBM adalah sebagai pembuka jalan untuk melemparkan harga BBM kepada mekanisme pasar.
"Pelemparan harga kepada mekanisme pasar ini sejalan dengan arahan kebijakan pasar bebas seperti yang diinginkan oleh IMF (International Monetary Fund). Sehingga, ke depan kita akan menghadapi harga BBM tanpa subsidi yang sewaktu-waktu dapat naik turun sesuai dengan harga minyak dunia yang berlaku," beber Lamen.
Seiring dengan kebijakan pencabutan subsidi BBM, pemerintah juga memberlakukan kenaikan harga gas LPG 12 kilogram dan tarif dasar listrik (TDL). Kenaikan ini, secara langsung mengakibatkan naiknya harga bahan pokok yang sulit dijawab hanya dengan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) sebesar Rp 200 ribu per bulan untuk rumah tangga miskin.
"Sedikitnya ada 15,5 juta keluarga miskin calon penerima dana KKS, sementara yang baru dikeluarkan sebanyak 1 juta. Akibatnya, ada jutaan rumah tangga miskin yang tidak tercatat dan terancam tidak menerima program KKS. Kalau pemerintah betul-betul pro rakyat seharusnya mendata ulang jumlah rumah tangga miskin," demikian Lamen. [wid/rmol]