Setelah 10 tahun musibah tsunami yang memporak-porandakan Aceh,
membuat rakyat Aceh kehilangan keluarga serta harta benda miliknya pada
26 Desember 2004 silam.
Bahkan LBH Anak Aceh mencatat masih ada 37 anak dinyatakan hilang belum ditemukan hingga kini. Hal tersebut dikatakan oleh Manager Program LBH Anak Aceh, Rudy Bastian.
"Dari sejumlah pengaduan orang tua dari tahun 2004 sampai 2012, kami mencatat ada 37 anak yang diyakini masih selamat dari terjangan musibah tsunami, namun hingga kini keberadaannya belum jelas," katanya.
Menurutnya, pasca tsunami banyak informasi menyatakan bahwa anak-anak mereka pernah dilihat oleh kerabat dan masyarakat yang mengenalnya. Bahkan mereka percaya anak-anak itu selamat dan masih hidup.
Namun sayangnya, LBH Anak Aceh tak bisa berbuat banyak, karena keterbatasan wilayah kerja maupun wilayah yurisdiksi yang melibatkan lintas negara. Sudah menjadi rahasia umum, anak-anak Aceh pascatsunami dibawa secara massal ke luar dari daerah Aceh, baik oleh relawan ataupun oleh sanak famili yang mengenal anak-anak tersebut.
Dan tidak sedikit ada oknum yang dengan berani mengakui kerabat dan keluarga anak-anak korban tsunami tersebut dengan tujuan ingin merawat, tetapi malah mencari keuntungan dengan mengasuh anak tersebut.
"Kami percaya, pada instansi pemerintah juga mempunyai data serupa pasca kejadian tsunami lalu, Dan pemerintah tidak boleh abai menyangkut masalah anak ini," tandasnya.
Rudy menyatakan, kisah Fanisa Rizkia (15) asal Lhokseumawe, berakhir menjadi pembantu rumah tangga di Malaysia, harus mengingatkan pemerintah dan semua pihak bahwa masih banyak Fanisa lainnya yang saat ini mengalami nasib serupa dan sangat menyedihkan tidak tahu keberadaannya. [ant]
Bahkan LBH Anak Aceh mencatat masih ada 37 anak dinyatakan hilang belum ditemukan hingga kini. Hal tersebut dikatakan oleh Manager Program LBH Anak Aceh, Rudy Bastian.
"Dari sejumlah pengaduan orang tua dari tahun 2004 sampai 2012, kami mencatat ada 37 anak yang diyakini masih selamat dari terjangan musibah tsunami, namun hingga kini keberadaannya belum jelas," katanya.
Menurutnya, pasca tsunami banyak informasi menyatakan bahwa anak-anak mereka pernah dilihat oleh kerabat dan masyarakat yang mengenalnya. Bahkan mereka percaya anak-anak itu selamat dan masih hidup.
Namun sayangnya, LBH Anak Aceh tak bisa berbuat banyak, karena keterbatasan wilayah kerja maupun wilayah yurisdiksi yang melibatkan lintas negara. Sudah menjadi rahasia umum, anak-anak Aceh pascatsunami dibawa secara massal ke luar dari daerah Aceh, baik oleh relawan ataupun oleh sanak famili yang mengenal anak-anak tersebut.
Dan tidak sedikit ada oknum yang dengan berani mengakui kerabat dan keluarga anak-anak korban tsunami tersebut dengan tujuan ingin merawat, tetapi malah mencari keuntungan dengan mengasuh anak tersebut.
"Kami percaya, pada instansi pemerintah juga mempunyai data serupa pasca kejadian tsunami lalu, Dan pemerintah tidak boleh abai menyangkut masalah anak ini," tandasnya.
Rudy menyatakan, kisah Fanisa Rizkia (15) asal Lhokseumawe, berakhir menjadi pembantu rumah tangga di Malaysia, harus mengingatkan pemerintah dan semua pihak bahwa masih banyak Fanisa lainnya yang saat ini mengalami nasib serupa dan sangat menyedihkan tidak tahu keberadaannya. [ant]