Selama ini terjadi pemutarbalikan opini setiap kali jelang
Natal. Umat muslim yang menolak mengenakan atribut hari raya umat
Kristiani tersebut dianggap tidak toleran.
Padahal, makna toleransi yang benar adalah saling menghormati dan bekerjasama walau kita berbeda secara keyakinan.
"Toleransi itu adalah, kita menghargai atau menghormati setiap tindakan yang orang lain lakukan selama tindakan itu tidak menyimpang dari aturan baik hukum maupun agama," jelas anggota DPD RI, Fahira Idris (Rabu, 17/12).
Jadi bukan memaksakan atribut atau ritual sebuah agama dipakai atau dirayakan umat agama lain," tegasnya.
Setiap menjelang 25 Desember, umumnya pusat perbelanjaan, gerai-gerai, hotel hingga restoran dihiasi berbagai hiasan Natal. Sebagian besar malah mewajibkan semua karyawan untuk mengenakan atribut, salah satunya topi santa.
Bagi banyak karyawan muslim, khususnya karyawan muslimah berjilbab, mengenakan atribut Natal ini adalah bentuk intoleransi karena tidak menghargai hak dan keyakinan agama mereka dan bertentangan dengan pasal 29 UUD 1945.
Dalam catatan Fahira, mengenakan atribut Natal bagi karyawan muslim yang bekerja di pusat-pusat perbelanjaan, hotel, restoran, supermarket, hingga gerai mini market, gerai busana, alat elektronik dan sebagainya sudah terjadi bertahun-tahun. Jika ini dibiarkan akan menjadi preseden yang tidak baik untuk kerukunan umat beragama di Indonesia.
Kasihan mereka (para karyawan) yang tidak bisa berbuat apa-apa selain melaksanakan keputusan perusahaan untuk mengenakan atribut natal. Ini soal keyakinan jadi tidak bisa dipaksa-paksa. Ini bisa menimbulkan sikap tidak respect kepada umat agama lain, yang saya harapkan jangan sampai terjadi,” tukas Fahira yang juga anggota Komisi Pendidikan dan Pengkaderan MUI ini. [rmol]
Padahal, makna toleransi yang benar adalah saling menghormati dan bekerjasama walau kita berbeda secara keyakinan.
"Toleransi itu adalah, kita menghargai atau menghormati setiap tindakan yang orang lain lakukan selama tindakan itu tidak menyimpang dari aturan baik hukum maupun agama," jelas anggota DPD RI, Fahira Idris (Rabu, 17/12).
Jadi bukan memaksakan atribut atau ritual sebuah agama dipakai atau dirayakan umat agama lain," tegasnya.
Setiap menjelang 25 Desember, umumnya pusat perbelanjaan, gerai-gerai, hotel hingga restoran dihiasi berbagai hiasan Natal. Sebagian besar malah mewajibkan semua karyawan untuk mengenakan atribut, salah satunya topi santa.
Bagi banyak karyawan muslim, khususnya karyawan muslimah berjilbab, mengenakan atribut Natal ini adalah bentuk intoleransi karena tidak menghargai hak dan keyakinan agama mereka dan bertentangan dengan pasal 29 UUD 1945.
Dalam catatan Fahira, mengenakan atribut Natal bagi karyawan muslim yang bekerja di pusat-pusat perbelanjaan, hotel, restoran, supermarket, hingga gerai mini market, gerai busana, alat elektronik dan sebagainya sudah terjadi bertahun-tahun. Jika ini dibiarkan akan menjadi preseden yang tidak baik untuk kerukunan umat beragama di Indonesia.
Kasihan mereka (para karyawan) yang tidak bisa berbuat apa-apa selain melaksanakan keputusan perusahaan untuk mengenakan atribut natal. Ini soal keyakinan jadi tidak bisa dipaksa-paksa. Ini bisa menimbulkan sikap tidak respect kepada umat agama lain, yang saya harapkan jangan sampai terjadi,” tukas Fahira yang juga anggota Komisi Pendidikan dan Pengkaderan MUI ini. [rmol]