Di bawah kepemimpinan Agus Martowardojo, Bank Indonesia semakin terlihat
salah arah. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 13 November
2014 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,50 persen, dengan
suku bunga Lending Facility dan suku bunga Deposit Facility masing-masing tetap pada level 7,50 persen dan 5,75 persen.
Namun, belum sampai seminggu kemudian BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps dan suku bunga lending facility sebesar 50 bps.
Menurut Presiden Direktur Center for Banking Crisis, A. Deni Daruri, kebijakan tersebut tidak konsisten dengan upaya untuk mengendalikan inflasi pada 2015, serta menurunkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat karena kenaikan ini sebagai respons terhadap kenaikan harga BBM.
Akibatnya, pada tanggal 10 Desember 2014 lalu, buruh melakukan demonstrasi besar-besaran untuk menaikkan upah minimum karena BI menaikkan tingkat suku bunga.
"Kenaikan tingkat suku bunga oleh BI tersebut justru menambah high cost economy dan menggerus keuntungan usaha sehingga buruh merasa terancam kelangsungan pekerjaannya," kata Deni dalam rilis yang diterima wartawan, Senin pagi (15/12).
Dengan naiknya tingkat suku bunga maka biaya modal meningkat ketika biaya energi juga meningkat seperti BBM dan listrik yang pada gilirannya meningkatkan biaya transportasi dan konsumsi.
Kenaikan tingkat suku bunga tidak mampu meredakan inflasi dan bahkan memukul daya beli buruh yang masih mengkredit kebutuhan pokoknya sehari-hari. Bukan hanya itu, seiring dengan masih lemahnya permintaan global, pertumbuhan ekonomi domestik masih dalam kecenderungan melambat.
Kenaikan tingkat suku bunga membuat rupiah mengalami pelemahan. Padahal pada triwulan III 2014, rupiah secara rata-rata melemah sebesar 1,2 persen ke level Rp 11.770 per dolar AS. Saat ini melemah di atas Rp 12 ribu per dolar AS. Rupiah secara rata-rata melemah 2,01 persen ke level Rp 12.142 per dolar AS.
Dengan demikian, katanya, langkah BI tidak efektif dalam menjaga stabilitas makroekonomi yang mengalami cost push dalam jangka pendek yang pada gilirannya membuat rupiah kian tergolek lemah yang konsekuansinya menimbulkan imported inflation. Dari sisi sistem pembayaran dengan adanya pelarangan RTGS untuk transaksi kecil telah merugikan konsumen perbankan nasional di mana transaksi antar bank pada sore hari justru baru selesai pada keesokan harinya.
"Upaya BI untuk meredam inflasi dengan cara memandulkan RTGS semakin membuat rupiah tergolek lemah terhadap dolar AS. Jelas BI harus mengkoreksi semua kebijakannya akhir-akhir ini karena tidak berdasarkan akal sehat. Kebijakan moneter dan sistem pembayaran BI semakin salah arah," demikian Deni.[rmol]
Namun, belum sampai seminggu kemudian BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps dan suku bunga lending facility sebesar 50 bps.
Menurut Presiden Direktur Center for Banking Crisis, A. Deni Daruri, kebijakan tersebut tidak konsisten dengan upaya untuk mengendalikan inflasi pada 2015, serta menurunkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat karena kenaikan ini sebagai respons terhadap kenaikan harga BBM.
Akibatnya, pada tanggal 10 Desember 2014 lalu, buruh melakukan demonstrasi besar-besaran untuk menaikkan upah minimum karena BI menaikkan tingkat suku bunga.
"Kenaikan tingkat suku bunga oleh BI tersebut justru menambah high cost economy dan menggerus keuntungan usaha sehingga buruh merasa terancam kelangsungan pekerjaannya," kata Deni dalam rilis yang diterima wartawan, Senin pagi (15/12).
Dengan naiknya tingkat suku bunga maka biaya modal meningkat ketika biaya energi juga meningkat seperti BBM dan listrik yang pada gilirannya meningkatkan biaya transportasi dan konsumsi.
Kenaikan tingkat suku bunga tidak mampu meredakan inflasi dan bahkan memukul daya beli buruh yang masih mengkredit kebutuhan pokoknya sehari-hari. Bukan hanya itu, seiring dengan masih lemahnya permintaan global, pertumbuhan ekonomi domestik masih dalam kecenderungan melambat.
Kenaikan tingkat suku bunga membuat rupiah mengalami pelemahan. Padahal pada triwulan III 2014, rupiah secara rata-rata melemah sebesar 1,2 persen ke level Rp 11.770 per dolar AS. Saat ini melemah di atas Rp 12 ribu per dolar AS. Rupiah secara rata-rata melemah 2,01 persen ke level Rp 12.142 per dolar AS.
Dengan demikian, katanya, langkah BI tidak efektif dalam menjaga stabilitas makroekonomi yang mengalami cost push dalam jangka pendek yang pada gilirannya membuat rupiah kian tergolek lemah yang konsekuansinya menimbulkan imported inflation. Dari sisi sistem pembayaran dengan adanya pelarangan RTGS untuk transaksi kecil telah merugikan konsumen perbankan nasional di mana transaksi antar bank pada sore hari justru baru selesai pada keesokan harinya.
"Upaya BI untuk meredam inflasi dengan cara memandulkan RTGS semakin membuat rupiah tergolek lemah terhadap dolar AS. Jelas BI harus mengkoreksi semua kebijakannya akhir-akhir ini karena tidak berdasarkan akal sehat. Kebijakan moneter dan sistem pembayaran BI semakin salah arah," demikian Deni.[rmol]