Pemerintah tidak boleh mengangggap enteng tren pelemahan rupiah terhadap dollar yang akan terus berlanjut, bahkan bisa mencapai di atas Rp 14.000 per US dollar.
Sebab, ancaman PHK sudah di depan mata karena pabrik-pabrik tidak mampu lagi berproduksi mulai sangat terasa, mengingat hampir lebih 75 persen bahan baku industri domestik Indonesia tergantung dengan Impor.
"Pelemahan rupiah menyebabkan pukulan luar biasa bagi industri dalam negeri, bahkan untuk mendorong ekspor pun sulit," jelas pengamat kebijakan publik, Dahnil Anzar Simanjuntak, dalam keterangan persnya (Senin, 24/8).
Menurutnya, pelemahan rupiah sebenarnya bisa menjadi kesempatan baik untuk ekspansi ekspor. Tapi, produk-produk yang diekspor pun tergantung impor. "Jadi kita impor bahan baku. Belum lagi harga komoditas seperti CPO justru mengalami penurunan drastis," ucap pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten ini.
Di sisi lain aturan pelarangan impor mineral mentah juga menjadi hambatan ekspansi ekspor. Selain itu kebijakan substitusi impor tidak pernah dimulai oleh pemerintah untuk menghindari terulang kondisi pelemahan rupiah seperti saat ini yang berdampak pada industri dalam negeri.
"Jadi, bila ada anggota kabinet atau Presiden yang menyebut kondisi ekonomi Indonesia saat ini baik-baik saja dan sudah di track yang benar, saya kira keliru," tegasnya.
Makanya, otoritas fiskal yakni pemerintah harus segera mendesain kebijakan jangka panjang berkaitan dengan ketergantungan Indonesia terhadap impor, substitusi impor melalui penguatan sektor pertanian.
"Industri lokal yang berbasis bahan baku lokal harus dimulai untuk kepentingan jangka panjang. Nah sementara ini dalam jangka pendek harapan kita hanya bisa kita tumpukan kepada otoritas moneter untuk mengendalikan pelemahan rupiah yang terus berlanjut, juga berharap pada faktor eksternal seperti devaluasi yuan dan suku bunga The Fed," demikian Dahnil Anzar Simanjuntak. [asr/rmol]
Comments
Post a Comment